Monumen Nasional dan Emas yang Menghias Puncaknya

Whisky galore movie – Siapa yang tidak kenal dengan Monumen Nasional (Monas), landmark ikonik ibu kota Jakarta? Monas, dengan bentuk menara yang menjulang tinggi dan lidah api berlapis emas di puncaknya, adalah simbol kebanggaan bangsa Indonesia. Namun, di balik kemegahan puncak Monas yang berkilauan, ada kisah menarik tentang kontribusi seorang pengusaha filantropis yang mendonasikan emas untuk monumen ini.

Sejarah Pembangunan Monumen Nasional (Monas): Memori dan Semangat Kemerdekaan

Pembangunan Monumen Nasional (Monas) dimulai pada bulan Agustus 1959, sebagai bagian dari upaya untuk memperingati dan merayakan semangat juang bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Monas dirancang untuk menjadi simbol kekuatan dan persatuan bangsa, dengan lidah api menyala di puncaknya sebagai representasi semangat perjuangan. Lidah api tersebut terbuat dari perunggu dengan berat mencapai 14,5 ton, tinggi 14 meter, dan diameter 6 meter. Uniknya, lidah api ini terdiri dari 77 bagian yang disatukan dan dilapisi dengan lempengan emas.

“Baca juga: Larangan Jual Rokok Eceran, Pembatasan Penjualan Tembakau”

Kontribusi Emas dari Teuku Markam

Dari keseluruhan lapisan emas yang menutupi lidah api Monas, sebanyak 38 kilogram emas digunakan. Dari jumlah ini, sekitar 28 kilogramnya merupakan sumbangan berharga dari seorang filantropi asal Aceh, Teuku Markam. Kontribusi besar ini tidak hanya menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan negara tetapi juga meninggalkan jejak abadi dalam sejarah Indonesia.

Mengenal Teuku Markam: Pengusaha dan Filantropi

Teuku Markam lahir sekitar tahun 1925 dan merupakan keturunan bangsawan (uleeebalang) di Aceh. Pada usia remaja, ia memulai pendidikan militer di Koeta Radja (sekarang Banda Aceh) dan lulus dengan pangkat Letnan Satu. Ia kemudian bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan terlibat dalam pertempuran Medan Area di Tembung, Sumatera Utara. Kiprahnya dalam militer memberikan dasar yang kuat bagi karirnya di dunia bisnis dan filantropi.

Setelah pertempuran, Teuku Markam dipindahkan ke Bandung sebagai ajudan Jenderal Gatot Subroto, di mana ia dikenalkan dengan Presiden Soekarno. Saat itu, Soekarno sedang mencari pengusaha pribumi yang mampu menangani masalah ekonomi Indonesia. Pada 1957, Markam kembali ke Aceh dengan pangkat kapten dan mendirikan PT Karkam, sebuah perusahaan yang kemudian berperan penting dalam ekonomi Indonesia.

Karir Bisnis dan Perjuangan Ekonomi

Teuku Markam dikenal sebagai salah satu konglomerat Indonesia pada era Orde Lama. Perusahaannya, PT Karkam, dipercayakan oleh pemerintah Orde Lama untuk mengelola pampasan perang dan berbagai aset negara. Selain itu, Markam memiliki kapal dan galangan kapal di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Surabaya.

“Simak juga: Millennial Entrepreneurs, Redefining Success in the Modern Era”

Bisnisnya meluas hingga ekspor-impor, termasuk impor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan senjata dengan persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan serta Presiden Sukarno. Usahanya dalam berbagai sektor ekonomi tidak hanya memberikan kontribusi signifikan terhadap APBN, tetapi juga mendukung pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat serta rekonstruksi jalan darat di pesisir Timur Aceh.

Legacy dan Hubungan dengan Pemerintahan Orde Lama

Teuku Markam tidak hanya dikenal karena bisnisnya, tetapi juga karena kedekatannya dengan pemerintahan Orde Lama dan sejumlah pejabat penting. Pada era pemerintahan Sukarno, ia dikenal sebagai figur yang memiliki pengaruh besar, bahkan disebut-sebut sebagai bagian dari ‘Kabinet Bayangan’ pemerintahan Orde Lama. Keberadaannya di balik layar pemerintahan menunjukkan betapa pentingnya perannya dalam pembangunan negara saat itu.

Emas yang Abadi dan Jejak Teuku Markam

Sumbangan 28 kilogram emas oleh Teuku Markam untuk puncak Monas bukan hanya sebuah kontribusi material, tetapi juga simbol dedikasi dan komitmennya terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Dengan kontribusi tersebut, Teuku Markam meninggalkan warisan yang tidak hanya bersinar di puncak Monas, tetapi juga dalam sejarah dan perkembangan ekonomi Indonesia. Kisahnya adalah contoh nyata dari pengusaha yang tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan negara.